Translate

Rabu, 30 April 2014


PENTINGNYA BERFIKIR KRITIS DAN KREATIF DALAM MEMPERBAIKI KARAKTER BERFIKIR MAHASISWA SERTA HUBUNGANNYA DENGAN PENCAPAIAN ILMU BIOLOGI
 
Oleh:
Bowo Siswandoko

Seringkali kita menggunakan istilah pikiran dan pemikiran. Namun kita belum tahu definisi mengenai hal tersebut. Pikir adalah ingatan, angan-angan, akal, anggapan, pendapat dan sangka. Pikir itu pelita hati. Daya Pikir bermakna daya atau kemampuan untuk berfikir. Berfikir bermakna menggunakan akal untuk menyelesaikan sesuatu, mempertimbangkan dalam ingatan atau mempertimbangkan baik-baik. Berfikiran adalah berfikir mengenai sesuatu. Memikir adalah berfikir mengenai sesuatu, mengigat. Memikirkan adalah menggunakan untuk menyelesaikan sesuatu, merenungkan, mempertimbangkan dalam fikiran, mengenangkan, mengendahkan, mempedulikan, memandang penting. Terfikir bermakna teringat, termasuk akal, tersangka, hasil fikiran, pendapat, pertimbangan akal, upaya, muslihat, perhatian, minat dan menaruh fikiran. Sefikiran bermakna sependapat atau sefaham. Berfikiran mempunyai fikiran. Pemikiran adalah perihal berfikir (memikir). Pemikir adalah orang yang berfikir atau ahli fikir.

Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berari individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menempati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis0, sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertidak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakter adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Menurut Dimyati (1996) salah satu ungsur ilmu pengetahuan adalah items, yakni ilmu pengetahuan yang berwujud berpikir rasional. Realisasi berpikir rasional tampak pada penggunaan kata, kalimat, alenea, rumus pemecahan masalah, ataupun symbol-simbol. Prasyarat untuk mewujudkan items tersebut adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, memikir dan melakukan observasi (3M+O).
Ilmu pengetahuan adalah sistem berpikir tentang dunia empiris. Dengan demikian pendidikan keilmuan adalah pendidikan berpikir rasional tentang dunia empiris. Dari sisi taksonomi berpikir, maka pendidikan keilmuan berarti mendidik berpikir pada tingkat kognitif tertentu. Dengan taksonomi Bloom misalnya, didikan berpikir keilmuan terletak pada tingkat analisa-sintesa-evaluasi-kreasi, tidak pada tingkat dibawahnya.
Fakta pembelajaran saat ini menunjukkan rendahnya tingkat kecakapan berpikir tingkat analisa-sintesa-evaluasi-kreasi anak-anak Indonesia. Para pakar pendidikan mengatakan bahwa proses pembelajaran yang dominan di sekolah-sekolah masih membelajarkan tingkat rendah yakni mengetahui, memahami, dan menggunakan belum mampu menumbuhkan kebiasaan berpikir evaluasi-kreatif yakni suatu yang paling esensi dari dimensi belajar. Sebagian besar pendidik belum merancang pembelajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Sebenarnya para pendidik telah menyadari bahwa pembelajaran berpikir agar anak menjadi cerdas, kritis, dan kreatif serta maampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari adalah penting. Kesadaran ini juga telah mendasari pengembangan kurikulum kita lebih lebih mengedepankan pembelajaran yang konstekstual dengan lingkungan kehidupan sehari-hari anak. Akan tetapi sebaagian besar pendidik kita belum berbuat, belum merancang secara serius pembelajaran yang didasarkan pada premis proses belajar (Drost, 1998, Mangunwijaya, 1998, Kamdi, 2002). Kita masih berkutat dengan cara-cara mengajar yang lama, yang cenderung mematikan kreativitas anak.
Proses “pembelajaran” saat ini masih diimplementasikan sebagai proses menjadikan anak tidak bisa, menjadi bisa. Kegiatan belajar berupa kegiatan menambah pengetahuan, kegiatan menghadiri, mendengar dan mencatat penjelasan guru, serta menjawab secara tertulis soal-soal yang diberikan saat berlangsungnya ujian. Pembelajaran adalah proses menyampaikan, memberikan, memindahkan/mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa.
Dalam tataran ini siswa yang sedang belajar bersifat pasif , menerima apa saja yang diberikan guru, tanpa diberikan kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuan yang dibutuhkan dan diminatinya. Siswa sebagai manusia ciptaan Tuhan yang paling sempurna di dunia karena diberi otak, dibelenggu oleh guru. Siswa yang jelas-jelas dikaruniai otak seharusnya diberdayagunakan, difasilitasi, dimotivasi, dan diberi kesempatan, untuk berpikir, bernalar, berkolaborasi, untuk mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan minat dan kebutuhannya serta diberi kebebasan untuk belajar. Mari kita runtuhkan pemahaman yang keliru bahkan telah menjadi “mitos” bahwa belajar adalah proses menerima, mengingat, mereproduksi kembali pengetahuan yang selama ini diyakini banyak tenaga kependidikan. Jalaluddin Rakhmad (2005) dalam buku Belajar Cerdas, menyatakan bahwa belajar itu harus berbasis otak . Dengan kata lain revolusi belajar dimulai dari otak. Otak adalah organ paling vital manusia yang selama ini kurang dipedulikan oleh dosen dalam pembelajaran. Pakar komunikasi mengungkapkan kalau kita ingin cerdas maka kita harus terlebih dahulu menumbangkan mitos-mitos tentang kecerdasan.
Menurut pandangan Slavin (1997)) dalam proses pembelajaran dosen tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuannnya sendiri dalam dengan mendayagunakan otaknya untuk berpikir. Guru dapat membantu proses ini, dengan cara-cara membelajarkan, mendesain informasi menjadi lebih bermakna dan lebih relevan bagi kebutuhan siswa. Caranya antara lain dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak mereka agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Menurut Nur (1999), dosen sebaiknya hanya memberi “tangga” yang dapat membantu mahasiswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.
Sering kita mendengar ungkapan mengenai banyaknya mahasiswa yang ‘tidak berpikir’. Mereka pergi ke kampus tetapi cara belajar mereka terbatas mendengarkan keterangan dosen, kemudian tidak mencoba memahami ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh dosen mereka. Selanjutnya, diruang ujian, mereka mengungkapkan kembali ilmu pengetahuan yang telah mereka hafalkan itu. Cara seperti ini, dalam pengertian yang khusus, bukanlah suatu keberhasilan, dan merupakan cara belajar yang tidak kita inginkan. Mengenai nilai dan ujian, harus diakui bahwa mahasiswa tersebut bisa menjawab pertanyaan.
Sayang sekali, dalam sistem pendidikan dewasa ini, ada mahasiswa yang gagal memahami perkuliahan, sebab mereka hanya sekedar menghafal tanpa mengerti apa yang mereka pelajari. Pada akhirnya, kedua jenis mahasiswa (mereka yang gagal memahami dan mereka yang menghafal) mampu menjawab ujian dengan baik. Sebagian dari mereka mungkin mendapat nilai yang tinggi dan dianggap mahasiswa yang sukses oleh masyarakat (Hassoubah, 2002). Meskipun belum ada hasil penelitian yang kongkret, bahwa seandainya para mahasiswa tersebut ditanya-setelah ujian selesai-apakah mereka masih ingat ilmu pengetahuan yang telah mereka pelajari, maka tidak heran kalau mereka sudah lupa apa yang telah mereka pelajari.
Para mahasiswa pasif akan menimbulkan masalah. Dengan pengertian lain, mahasiswa yang ‘tidak berpikir’ hanya akan memenuhi tempat yang semestinya dipersiapkan untuk menghasilkan para ilmuan yang akan memainkan peranan mereka sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi. Akibat yang paling buruk adalah tugas dan tanggung jawab pendidikan tidak tercapai, sementara para mahasiswa dapat tamat dan mendapatkan gelar.
Pada saat yang sama, seharusnya para mahasiswa mengevaluasi diri mereka dan berusaha. Mereka tidak boleh berdiam diri saja. Karena, para pemuda ini kelak akan menjadi orang dewasa, akan menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan dan permasalahan. Mahasiswa ini yang akan menjadi pemimpin di masa depan, mesti dipersiapkan untuk menghadapi tantangan dan permasalahan hidup. Tantangan dan permasalahan inilah yang akan dihadapi oleh ‘pemikir’(.Tthe Liang Gie, 2003)
Berpikir dalam pendidikan formal sebagian besar menekankan pada :(1) kemampuan menganalisis, (2) membelajarkan siswa bagaimana memahami pernyataan, (3) mengikuti dan menciptakan argumen logis, (4) mengiliminir jalur yang salah dan fokus pada jalur yang benar (Harris, 1998). Berpikir adalah kegiatan memfokuskan pada eksplorasi gagasan, memberikan berbagai kemungkinan-kemungkinan dan mencari jawaban-jawaban yang lebih benar. Dua jenis berpikir dapat dibedakan yakni berpikir kritis dan berpikir kreatif.
Berpikir kristis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Pembelajaran biologi inovatif adalah pemaduan sintaks pembelajaran inkuiri dengan sintaks pembelajaran kooperatif. Beberapa dasar pertimbangan pemaduan sintaks pembelajaran inkuiri dan kooperatif didasarkan karakter kedua strategi tersebut. Pembelajaran inkuiri dipadu kooperatif mempunyai dua karakter dasar yaitu, karakter pembelajaran inkuiri dan kooperatif. Karakter pembelajaran Inkuiri menuntut siswa menemukan sebuah pengetahuan sebagaimana ilmuwan menemukan dan mengembangkan ilmu. Karakter pembelajaran inkuiri membantu siswa menguasai keterampilan proses sains dengan lebih baik. Sintaks pembelajaran inkuiri seperti: (1) Merumuskan masalah, (2) Merumuskan hipotesis, (3) Menguji jawaban tentatif, dan (4) Menarik dan menerapkan kesimpulan. Menuntut siswa bekerja dengan kemampuan berpikir tertinggi mereka, sehingga kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa menjadi terlatihkan dengan baik.
Sesuai dengan standar proses, yang dilakukan guru pada kegiatan pendahuluan: a) menyiapkan siswa secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran, b) mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari, c) menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai, dan d) menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.
Beberapa contoh kegiatan yang dilakukan untuk menanamkan karakter dalam kegiatan pendahuluan:
  1. Guru datang tepat waktu (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin) 
  2. Guru mengucapkan salam dengan ramah kepada siswa ketika memasuki ruang kelas (contoh nilai yang ditanamkan: santun, peduli) 
  3. Berdoa sebelum membuka pelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: religius) 
  4. Mengecek kehadiran siswa (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin, rajin) 
  5. Mendoakan siswa yang tidak hadir karena sakit atau karena halangan lainnya (contoh nilai yang ditanamkan: religius, peduli) 
  6. Memastikan bahwa setiap siswa datang tepat waktu (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin) 
  7. Menegur siswa yang terlambat dengan sopan (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin, santun, peduli
  8. Mengaitkan materi/kompetensi yang akan dipelajari dengan karakter
  9. Dengan merujuk pada silabus, RPP, dan bahan ajar, menyampaikan butir karakter yang hendak dikembangkan selain yang terkait dengan SK/KD
DAFTAR PUSTAKA
  • Dimyati. 1988. Landasan Kependidikan: Suatu Pengantar Pemikiran Keilmuan Tentang kegiatan Pendidikan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Depdiknas.
  • Dimyati. 1996. Pendidikan Keilmuan di Indonesia: Suatu Dilema Pengajaran dan Penelitian. Jurnal Pendidikan Humaniora dan Sains. September. 2(1&2)
  • Drost, 2000. Reformasi Pengajaran: Salah Asuhan Orang Tua, Jakarta. Gramedia Widisarana Indonesia
  • Hossoubah,Z. Develoving Creative and Critical Thinking Skills (terjemahan) . 2004. Bandung: Yayasan Nuansa Cendia
  • Kamdi, W. 2002. Mengajar Berdasarkan Model Dimensi Belajar. Gentengkali: Jurnal Pendidikan Dasar dan Menengah. 4 (5 dan 6): 29-35
  • Kurniawan, K. 1998. Visi dan Strategi Universitas Mnghadapi Abad XXI. Jurnal Imu Pendidikan. Agustus 5(3): 131-149
  • Marzano. 1988. Dimensions of Thinking: A Framework for Curriculum and Instruction. Alexandria, Va: ASCD
  • Perkins,D.N. & Weber,R.J. 1992. Inventive Mind: Creative in Technology. New York: University Press
  • Rahmat, J. 2005. Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak. Bandung: Mizan Leraning Center (MLC)
  • Slavin. 1997. Educational Psycology Theory and Practice. Five Edition. Boston: Allin and Bacon
  • Gie,The Liang. 2003. Teknik Berpikir Kreatif. Yogyakarta: Sabda Persada Yogyakarta.
  • Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara



1 komentar:

  1. Promo DonacoPoker Spesial Menyambut Lebaran

    Promo spesial untuk menyambut Bulan Puasa Donaco Poker memberikan promo spesial yang hanya untuk anda member-member setia kami dengan memberikan tambahan deposit sebesar 10+10%.
    Permainan di DonacoPoker
    - POKER
    - DOMINO
    - CEME
    - CEME KELILING
    - CAPSA
    - SUPER10
    - OMAHA
    Hubungi kami di :
    WHATSAPP : +6281333555662
    atau langsung di Livechat kami ya bosku. Terimakasih

    DAFTAR

    Judi Poker Online Terbaik

    BalasHapus